Indonesia sedang berada di titik terendahnya, bukan hanya dalam politik dan ekonomi, tetapi juga dalam hal "public trust", alias hilangnya kepercayaan terhadap institusi-institusi yang dulu dianggap sebagai banteng penyeruduk kezaliman.
Demokrasi yang katanya semakin matang justru terasa seperti panggung opera sabun. Hukum tajam ke rival politik, oposan, dan juga masyarakat lowers class, dengan potret lembaga negara dipenuhi orang-orang yang hanya butuh kursi, dan kekayaan semata. Di tengah semua komedi ini, muncul satu pertanyaan besar: Ke mana organisasi ekstra kampus?
PMII, HMI, GMNI, IMM, PMKRI, dan organisasi-organisasi serupa lainnya, yang dulu berdiri di garis depan perjuangan kini tampak lebih sibuk dengan urusan internalnya. Idealisme yang dulu mereka banggakan kini seperti barang murah yang bisa ditransaksikan kepada siapa saja yang berani bayar mahal. Mereka masih ada, tapi apakah mereka masih berarti?
Dulu Pejuang, Sekarang Pengelola Kepentingan
Gerakan mahasiswa pernah menjadi momok menakutkan bagi para penguasa, dari melawan Orde Lama, Orde Baru, hingga menggulingkan Soeharto di Mei 1998, mereka selalu hadir dengan keberanian yang tak bisa ditawar.
Tapi sekarang? Organisasi ekstra kampus yang dulu jadi simbol perlawanan kini lebih sering terlihat di meja-meja berkilap di rumah menara gading untuk melangsungkan negosiasi ketimbang di barisan demonstrasi. Tentu tak luput dengan menentang proposal kemanapun ia bernegosiasi.
Mereka tak sepenuhnya hilang, tapi mereka bertransformasi. Bukan menjadi lebih kuat, tetapi justru semakin tunduk pada pragmatis. Mereka bukan lagi pejuang, tetapi pengelola kepentingan. Mereka masih mengeluarkan pernyataan sikap, tetapi dengan nada yang penuh kehati-hatian, seolah takut menyinggung para seniornya yang duduk manis di kursi-kursi kekuasaan.
Dan inilah yang menjadi bibit dan mungkin juga membunuh kepercayaan para mahasiswa terhadap mereka. Bagaimanapun mungkin mereka masih mengklaim sebagai pejuang jika mereka sendiri takut bertarung?
Netralitas yang Penuh Kepalsuan
Banyak jenis manusia dari organisasi ini mengklaim netral dalam berbagai isu politik. Mereka beralasan bahwa sebagai organisasi mahasiswa, mereka harus menjaga independensi dan tak mau terseret dalam kepentingan-kepentingan tertentu. Tapi mari kita lihat realitasnya: netralitas ini hanya omong kosong.
Bagaimana bisa mereka mengaku netral, tapi diwaktu yang bersamaan banyak senior mereka justru menjadi bagian dari sistem yang korup? Bagaimana bisa mereka mengklaim independen ketika keputusan mereka sering kali ditentukan oleh kepentingan politis tertentu?
Kemudian, Bagaimana bisa mereka mengatakan mereka berdiri bersama rakyat ketika mereka lebih sibuk menjaga hubungan baik dengan elite ketimbang mendengarkan suara rakyat itu sendiri?
Naif, netralitas yang mereka banggakan bukanlah keberanian untuk berdiri di tengah, tetapi ketakutan untuk memilih sisi. Dimana, kira-kira posisi yang paling menguntungkan bagi mereka. Dan dalam politik, mereka yang tidak memilih sisi, sejatinya sudah memilih, yaitu mereka memilih untuk tetap berada di level teraman.
Bendera yang Berkibar Tanpa Makna
PMII dengan biru-kuningnya. HMI dengan hijau-hitamnya. GMNI dangan merah-putihnya. IMM dengan campur baur warnanya, dan seterusnya. Bendera-bendera ini masih sering berkibar, tetapi apakah mereka masih membawa makna?
Dulu, warna-warna ini adalah simbol perjuangan. Sekarang, banyak mahasiswa dan masyarakat melihatnya hanya sebagai identitas organisasi, tidak lebih dari itu. Mereka masih menggelar kaderisasi, tetapi apakah kader-kadernya masih diajarkan untuk melawan? Padahal itu tujuan utama dari adanya program kaderisasi itu sendiri.
Mereka masih berbicara tentang Islam, kebangsaan, dan keadilan sosial, tetapi apakah nilai-nilai itu masih diterapkan dalam sikap organisasi? Jangan-jangan yang tersisa hanyalah seremonial. Ritual. Pengulangan tanpa substansi, dan seterusnya dan seterusnya.
Sementara itu, mahasiswa yang kecewa mulai mencari jalan lainnya. Mereka merasa organisasi ekstra kampus telah kehilangan taringnya, akhirnya membentuk kelompok-kelompok independen. Mereka memilih untuk tidak berwarna, karena warna-warna yang ada sudah kehilangan arti dan value perjuangannya.
Kedekatan dengan Kekuasaan yang Mencurigakan
Organisasi mahasiswa seharusnya menjadi oposisi moral yang tangguh bagi negara. Tetapi bagaimana jika justru banyak senior dari mereka yang kini menjadi bagian dari kekuasaan? "Adinda, janganlah dikau hantam-hantam terus abangdamu ini, ntar tak ku cairkan proposalmu ini," ucap salah seorang seniornya.
Bukannya menjadi pengawas, mereka justru menjadi bagian dari sistem yang mereka kritik. Contoh kecil menjadi corong dari Pertamina saat institusi tersebut banjir kritik akibat kasus pertamax oplosannya.
Maka jangan heran jika generasi baru tidak lagi percaya. Bagaimana mungkin mereka diajarkan untuk melawan ketidakadilan oleh orang-orang yang justru menikmati kenyamanan dari sistem yang korup itu sendiri?
Pertarungan yang Salah Arah
Alih-alih bertarung melawan kebijakan yang merugikan rakyat, mereka justru lebih sibuk bertarung di dalam organisasi sendiri. Contoh. Siapa yang akan jadi ketua? Siapa yang lebih layak memegang jabatan? dan Siapa yang paling sesuai dengan keinginan para senior?
Pertarungan ini sangat menguras energi, tetapi sayangnya tidak berdampak apa-apa bagi masyarakat. Gerakan mahasiswa seharusnya berani mengambil risiko. Tetapi sekarang, terlalu banyak perhitungan.
Barangkali mereka takut kehilangan akses ke pejabat. Takut dicap radikal. Atau takut organisasi mereka di-blacklist oleh pemerintah, karena keseringan ngajuin proposal. Pada akhirnya, ketakutan ini membuat mereka memilih jalan aman. Dan jalan aman ini, sayangnya, bukan jalan perlawanan. Bukan jalan yang ditunggu-tunggu rakyat.
Jika Tidak Berubah, Maka Mereka Akan Mati
Organisasi ekstra kampus masih memiliki kesempatan untuk bangkit. Masih ada kader-kader yang jujur, masih ada individu yang benar-benar ingin berjuang. Tetapi jika mereka tidak berubah, jika mereka tetap sibuk dengan urusan internal dan menjaga hubungan eratnya dengan kekuasaan, maka mereka akan mati.
Mereka tidak akan mati secara fisik, tetapi mereka akan kehilangan relevansinya. Mereka akan menjadi organisasi tanpa makna, hanya sekadar nama yang tercatat dalam sejarah tanpa dampak yang nyata di bumi manusia yang nyata ini.
Dan ketika itu terjadi, mahasiswa tidak akan menangisi kepergian mereka. Karena generasi baru akan menemukan jalannya sendiri. Mereka tidak lagi butuh organisasi yang pura-pura melawan. Mereka tidak butuh pemimpin yang takut pada kekuasaan. Mereka hanya butuh keberanian.
Dan jika organisasi ekstra kampus tidak bisa memberikannya, maka generasi baru akan mencarinya di tempat lain. Bahkan apabila harus mengibarkan bendera perlawanan tanpa nama.
Maka sebelum itu semua terjadi, sudah waktunya bendera yang berwarna-warni itu kembali menyinari bumi. Karna hanya ada dua pilihan cara untuk mereka mengejawantahkan karakter organisasinya, yaitu dengan mengangkat bendera putih sebagai simbol menyerah, diam, dan hidup dengan kepala tertunduk. Atau dengan mengibarkan bendera hitam yang bermaksud melawan dengan caranya sendiri, meski harus dilabeli radikal dan kontra produktif.
*) Ardityya Hoswinandar merupakan Ketua rayon cakrawala PMII UMM
**) Isi tulisan di atas menjadi tanggung jawab penulis
***) Karikatur by Rihad Humala/Ketik.co.id
****) Ketentuan pengiriman naskah opini:
- Naskah dikirim ke alamat email [email protected].
- Berikan keterangan OPINI di kolom subjek
- Panjang naskah maksimal 800 kata
- Sertakan identitas diri, foto, dan nomor HP
- Hak muat redaksi.(*)