KETIK, PROBOLINGGO – Siapa tak kenal Perusahaan Otobus (PO) AKAS, salah satu perusahaan angkutan umum terbesar di Jawa Timur. Namun barangkali tak semua orang tahu jika perusahaan otobus ini bermula dari sebuah bengkel mobil kecil di era kolonial Belanda.
Bengkel itu dikenal dengan sebutan Bengkel Amat, yang berlokasi di Kota Probolinggo Jawa Timur, dan didirikan oleh Matasri, atau akrab disapa Pak Amat. Banyak warga setempat mengenal sebagai sosok pekerja keras dan visioner. Pak Amat, pula yang kelak menjadi tokoh penting dalam sejarah transportasi darat di kawasan timur Pulau Jawa.
Bengkel Amat, bukan sekadar tempat memperbaiki kendaraan. Sebab di sana Pak Amat, mengasah keterampilannya. Membangun relasi, dan menanam benih impian besar. Membangun perusahaan angkutan yang mampu menjangkau daerah-daerah terpencil di seluruh Jawa Timur. Impian itu mulai terwujud pada 1956, ketika usaha bengkel ini resmi menjadi perusahaan bernama CV AKAS.
Perseroan komanditer ini dirintis bersama dua anggota keluarga. Yakni Sukarman, yang merupakan menantu Pak Amat, dan Ali, anak kandungnya. Ketiganya sepakat mendirikan CV AKAS dengan pembagian saham yang sama besar. Trayek awal yang dilayani armada CV AKAS mencakup Probolinggo - Bremi, Probolinggo - Sukapura, dan Probolinggo - Senduro, berada dalam wilayah Kabupaten Lumajang.
Pendirian CV AKAS, seperti dikisahkan Rudi Yahyanto, salah satu cucu atau generasi ketiga keluarga AKAS, disahkan Notaris Sie Khwan Ho, atau dikenal sebagai Eddy Widjaja, melalui Akta Pendirian Nomor 111 tanggal 23 Maret 1956. “Kantor notaris ini terletak di Jalan Kembang Jepun, Surabaya,” kata Rudi, Senin 16 Juni 2025.
Masih kata Rudi, modal awal perusahaan kala itu terdiri dari lima unit bus, semua bodynya bermaterialkan kayu. Bus kayu merupakan hal lazim pada masa itu. Salah satu armada andalannya adalah bus produk Chevrolet tahun 1941 dengan nomor sasis PB 13559, nomor mesin 1491943, dan nomor polisi N 3139. “Total nilai seluruh bus ditaksir mencapai Rp 200.000. Jumlah yang sangat besar di masanya,” lanjut Rudi Yahyanto, dijumpai ketik.co.id di kediamannya.
Dalam kehidupan pribadi, Pak Amat, menikah dengan Tasmini. Dari pernikahan ini lahirlah Aminah binti Amat dan Ali bin Amat. Setelah dewasa, anak-anak Pak Amat menikah. Aminah dipersunting Sukarman, pria asal Kota Pasuruan. Dari pernikahan Aminah dan Sukarman, ini lahir empat orang anak. Masing-masing Harsono, Hartoyo, Sunarmi, dan Edy Haryadi. Sementara Ali, menikah dengan Muliati, dan memiliki lima anak. Yakni Ani Rahayu, Mimik Astuti, Ninik Asmaningsih, Sri Hartatik, dan Rudi Yahyanto.
Setelah Pak Amat meninggal pada tahun 1972, perusahaan mengalami penyesuaian struktur organisasi. Susunan para pemegang saham kemudian tercantum dalam akta baru yang terbit pada tahun 1974. Meski demikian, akta ini tidak merubah sebagian besar isi akta pendirian tahun 1956. Mulai izin trayek sampai mekanisme pembagian dividen perusahaan, tetap merujuk pada akta awal tersebut. Singkat cerita, akta 1974 lebih berfungsi sebagai pengaturan internal, khususnya pembagian manajemen dan susunan persero.
Disitu, Sukarman, ditetapkan sebagai Direktur, Hartoyo, sebagai Wakil Direktur, sementara Ali Amat, Harsono, dan Edy Haryadi, menjadi persero diam. Perusahaan kemudian juga membagi kegiatan operasional ke dalam empat divisi. Divisi 1 atau AKAS 1 dikelola Harsono, AKAS 2 dikelola Hartoyo, AKAS 3 oleh Ali Amat, dan AKAS 4 dikelola Edy Haryadi.
Tahun 1985 menjadi titik perubahan penting lainnya dalam struktur kepemilikan. Setelah wafatnya Muliati, istri pertamanya, Ali Amat menikah kembali dengan Sunarsih. Tak lama setelah itu, Ali mengundurkan diri dari keanggotaan perseroan. Posisinya dalam perusahaan digantikan oleh anaknya, Rudi Yahyanto.
Perjalanan CV AKAS terus berlanjut. Pada tahun 2000, Hartoyo, meninggal dunia. Setahun kemudian Sukarman, juga berpulang. Kepergian dua sosok penting ini memicu perubahan struktur dalam perusahaan yang kemudian dituangkan dalam akta baru. Akta tahun 2001 ini disahkan Notaris Abrar, berkantor di Jalan Suyoso, Kota Probolinggo.
Dalam akta baru tersebut, Edy Haryadi, dipercaya memegang kuasa penuh atas pengurusan legalitas perusahaan. Termasuk perpanjangan izin trayek dan dokumen-dokumen penting lainnya. Namun, sejak saat itu, Rudi Yahyanto, mengaku tidak pernah lagi dilibatkan dalam pengelolaan perusahaan. Padahal, sebagai anak dari Ali Amat, dan cucu dari pendiri perusahaan, Rudi merupakan bagian dari pemilik saham generasi pertama.
Kondisi ini menimbulkan ketimpangan cukup mencolok. Ketika pada tahun 2012 pemerintah menetapkan kebijakan bahwa seluruh badan usaha transportasi harus berbadan hukum Perseroan Terbatas (PT), perubahan dari CV ke PT dilakukan tanpa pelibatan Rudi Yahyanto.
Rudi mengklaim tidak diajak berdiskusi, tidak diberi pemberitahuan resmi dan tidak dilibatkan dalam pencatatan administratif yang menyangkut perubahan status hukum serta legalitas usaha AKAS. “Padahal, keberadaan dan kontribusi ayah saya Ali Amat, sebagai salah satu pendiri tidak dapat dipisahkan dari sejarah perusahaan,” ujar Rudi.
Kini, PT AKAS berkembang menjadi salah satu perusahaan transportasi darat terbesar di kawasan timur Jawa. Asetnya ditaksir mencapai triliunan rupiah. Aset-aset tersebut meliputi tanah, bangunan, armada bus, serta kekayaan bergerak lainnya. Namun, menurut pengakuan Rudi Yahyanto, seluruh aset ini dikuasai generasi ketiga dari garis keturunan Aminah - Sukarman. Sementara generasi ketiga dari Ali Amat, tidak memiliki akses informasi atau keterlibatan dalam pengelolaan perusahaan.
Kisah ini bukan sekadar sejarah sebuah perusahaan transportasi. Ini adalah cerita tentang perjuangan, pengorbanan, dan juga tentang bagaimana waktu, kekuasaan, serta kepentingan bisa menggeser hak dan peran seseorang dalam struktur kekeluargaan dan perusahaan. CV AKAS bukan hanya milik satu nama, tetapi milik kolektif dari sebuah keluarga besar yang pernah bersama-sama membangun dari nol, dari kayu ke baja, dari bengkel kecil ke imperium transportasi. (Bersambung)