“Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh (mujahadah) untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” (Al-Ankabut: 69).
Pak Amir adalah seorang pria tua berusia lebih dari 70 tahun yang setiap hari bekerja sebagai pedagang es batu keliling. Tubuhnya yang renta tetap ia paksa untuk bekerja keras, bukan karena ambisi duniawi, melainkan karena rasa tanggung jawab.
Ia tinggal bersama anak perempuannya yang lumpuh total sejak kecil. Sang istri telah meninggal dunia sepuluh tahun yang lalu, dan anaknya kini menjadi satu-satunya alasan ia bertahan hidup.
Setiap hari, tanpa peduli panas terik maupun hujan deras, ia menjajakan es batu keliling kota, karena hanya itu satu-satunya cara yang mampu ia lakukan untuk membeli beras dan obat bagi anak tercintanya.
Malam itu, malam 1 Muharram, kota tampak ramai dengan acara doa bersama dan pawai obor. Orang-orang mengenakan pakaian muslim dan muslimat, masjid-masjid penuh oleh jemaah yang khusyuk berzikir, dan langit dihiasi kembang api yang mewarnai suasana penuh semangat.
Namun, di sudut gelap dekat pasar yang mulai sepi, tampak Pak Amir terduduk lemas di samping gerobak tuanya. Es batunya tak laku terjual. Malam sudah terlalu larut, dan sebagian es mulai mencair.
Dengan tubuh gemetar dan wajah penuh kelelahan, ia menunduk dan berdoa lirih, “Ya Allah, jangan biarkan anakku kelaparan malam ini. Jangan biarkan es ini sia-sia.”
Seorang pemuda yang lewat memperhatikan Pak Amir dari kejauhan. Merasa iba, ia mendekat dan bertanya, “Pak, kenapa belum pulang?” Dengan suara serak dan mata yang berkaca-kaca, Pak Amir menjawab lirih, “Es ini, kalau tidak laku, aku tak bisa beli makan dan obat untuk anakku. Tapi kalau aku terus menunggu, es ini akan habis mencair dan tak akan ada nilainya”.
Pemuda itu terdiam. Tanpa banyak bicara, ia membuka dompetnya dan berkata tulus, “Pak, saya beli semuanya.” Mendengar itu, Pak Amir langsung memeluk pemuda tersebut sambil menangis bukan karena uang yang diterimanya, tetapi karena di tengah malam tahun baru ini, Allah menunjukkan bahwa harapan masih ada, bahwa kebaikan tidak pernah benar-benar mati.
Malam itu, di antara riuhnya dunia yang merayakan pergantian tahun, seorang ayah tua menemukan kembali makna hijrah bukan sekadar berpindah tempat, tetapi berpindah dari keputusasaan menuju harapan, dari kesepian menuju kasih sayang. Dan bagi sang pemuda, malam itu menjadi momen hijrah dari sikap acuh menjadi peduli.
Dari cerita pendek d iatas ada beberapa hikmah yang bisa kita petik dalam momentum tahun baru Islam 1447 H tahun ini:
Hijrah Bukan Sekadar Pindah Tempat
Tahun Baru Islam mengingatkan kita pada peristiwa besar dalam sejarah umat Islam hijrahnya Nabi Muhammad saw dari Makkah ke Madinah. Hijrah itu bukan hanya tentang perjalanan fisik, tetapi juga tentang transformasi spiritual dan sosial.
Nabi dan para sahabat berhijrah dari ketertindasan menuju kebebasan iman, dari keterasingan menuju persaudaraan, dari kebencian menuju kasih sayang. Nilai-nilai itulah yang hari ini harus kita hidupkan kembali melalui revolusi mental, sebagaimana diajarkan dalam Islam yakni perubahan pola pikir, sikap, dan perilaku menuju akhlak mulia (akhlakul karimah).
Hijrah di masa kini berarti meninggalkan kebiasaan buruk seperti malas, egois, iri, dan rakus, menuju pribadi yang jujur, amanah, sabar, peduli, dan cinta ilmu. Dalam konteks ini, revolusi mental sejati bukan sekadar slogan, tetapi bentuk nyata dari hijrah batiniah yang diperintahkan Allah dan dicontohkan oleh Rasulullah saw.
Islam telah menegaskan bahwa sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi sesama. Apa yang dilakukan seorang pemuda kepada pak Amir tidak bicara masalah manfaat karena tidak ada gunanya es batu yang beli dan tidak bicara masalah rugi karena mengeluarkan uang secara percuma akan tetapi masalah bantuan dan kepedulian sesama, sehingga orang orang yang kurang beruntung masalah kehidupan punya sikap dan pikiran “harapan masih ada”.
Maka revolusi mental berlandaskan akhlak Islam bukan hanya soal memperbaiki diri sendiri, tetapi juga tentang membangun masyarakat yang bermartabat, saling menghargai, dan mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan. Inilah makna hijrah yang sejati berpindah dari kejahiliyahan modern menuju peradaban yang berlandaskan tauhid, akhlak, dan kepedulian sosial.
Menanam Niat Baru untuk Perubahan yang Lebih Baik
Tahun baru Islam memberi kita momentum untuk menanam niat dan tekad baru: memperbaiki ibadah, memperbanyak amal, meningkatkan ilmu, dan menebar manfaat bagi sesama. Islam sangat menghargai niat karena perubahan besar dimulai dari hati yang bersih dan tekad yang kuat.
Menanam niat baru bukan sekadar merangkai kata dalam hati, tetapi memulai langkah nyata untuk menjadi hamba yang lebih baik. Tahun Baru Islam bukan hanya penanda waktu, tetapi undangan ilahiah agar kita melakukan muhasabah mengevaluasi diri dan menata ulang tujuan hidup. Dalam Islam, niat adalah inti dari setiap amal. Rasulullah saw bersabda:
"Sesungguhnya segala amal tergantung pada niatnya." (HR. Bukhari dan Muslim).
Maka, setiap perubahan harus dimulai dari kemurnian niat. Pertama, niat yang benar melahirkan ibadah yang berkualitas. Shalat yang dilakukan dengan kesadaran bahwa kita sedang menghadap Allah akan jauh berbeda dengan shalat yang hanya menggugurkan kewajiban.
Puasa, zakat, haji, bahkan senyum kepada sesama, bisa bernilai ibadah jika diniatkan karena Allah. Maka, di awal tahun ini, mari kita tanamkan niat untuk memperbaiki kualitas ibadah kita dari rutinitas menuju kekhusyukan, dari kewajiban menuju kedekatan dengan-Nya.
Kedua, niat juga harus diwujudkan dalam amal nyata. Keimanan bukan hanya di lisan, tapi dibuktikan dengan tindakan. Membantu tetangga yang kesulitan, memberi makan anak yatim, menjaga kebersihan lingkungan, atau sekadar mendoakan orang lain semua adalah amal yang memperindah iman, jika diniatkan lillahi ta'ala. Amal seperti ini adalah bentuk hijrah sosial: berpindah dari kepedulian sempit menuju kebermanfaatan luas.
Ketiga, niat yang tulus akan mendorong kita untuk terus meningkatkan ilmu. Sebab tanpa ilmu, amal bisa salah arah. Islam memuliakan orang yang berilmu, bahkan menjadikan mereka sebagai pewaris para nabi. Niat mencari ilmu bukan untuk gelar, gengsi, atau popularitas, tetapi untuk mendekat kepada Allah dan memperbaiki diri.
Tahun baru ini adalah kesempatan untuk memperbarui semangat menuntut ilmu baik ilmu dunia maupun akhirat demi menjadi insan yang lebih bijak, beradab, dan rendah hati. Tahun Baru Islam adalah momentum menanam niat baru untuk perubahan yang lebih baik.
Semangat inilah yang seharusnya menjiwai juga reformasi birokrasi di lembaga-lembaga pelayanan publik. Islam tidak hanya menekankan hubungan vertikal kepada Allah, tapi juga hubungan horizontal kepada sesama manusia, terutama dalam hal pelayanan dan keadilan sosial.
Maka, aparatur negara yang berhijrah secara mental harus memaknai tugasnya sebagai amanah, bukan sekadar profesi. Pelayanan publik harus menjadi ladang ibadah, bukan arena mencari keuntungan pribadi.
Dengan niat yang benar dan tekad yang kuat, reformasi birokrasi dapat melahirkan aparatur yang berintegritas, profesional, dan berakhlakul karimah yang tidak hanya bekerja untuk sistem, tetapi melayani dengan empati. Inilah bentuk nyata dari hijrah sosial: berpindah dari budaya KKN (korupsi, kolusi, nepotisme) menuju budaya pelayanan yang adil, cepat, dan manusiawi.
Maka, sebagaimana Nabi memulai peradaban baru dari hijrah, kita pun bisa memulai perubahan besar dalam pelayanan publik dengan menanam niat yang benar dan memperbaiki akhlak kerja.
Menghidupkan Semangat Ukhuwah dan Kepedulian Sosial
Hijrah Nabi juga membuka lembaran baru dalam membangun masyarakat Islam yang adil, damai, dan saling tolong-menolong. Maka semangat tahun baru harus juga diisi dengan ukhuwah, solidaritas sosial, dan kepedulian kepada mereka yang lemah dan membutuhkan.
Menghidupkan semangat ukhuwah dan kepedulian sosial bukan hanya sebuah seruan spiritual, tetapi menjadi pijakan nyata dalam membangun masyarakat yang lebih adil dan berkeadaban, sebagaimana dicontohkan Rasulullah SAW dalam peristiwa hijrah.
Saat beliau membangun masyarakat Madinah, fondasinya adalah solidaritas, tolong-menolong, dan perhatian kepada kaum yang lemah. Nilai-nilai inilah yang seharusnya menjadi inspirasi bagi kita dalam menyambut Tahun Baru Islam hijrah bukan hanya soal berpindah tempat, tetapi tentang berpindah sikap: dari mementingkan diri sendiri menuju perhatian pada sesama.
Inilah yang dilakukan oleh seorang pemuda kepada pak Amir yang dalam kisah diatas. Rasanya tepat Program Makan Bergizi Gratis yang diusung Presiden Prabowo menjadi cermin nyata dari semangat ukhuwah Islamiyah di masa kini.
Program ini bukan sekadar agenda pemerintah, tetapi bagian dari upaya membangun masyarakat yang peduli, adil, dan menjamin masa depan generasi. Dengan menyediakan makanan sehat dan bergizi untuk anak-anak sekolah, yatim piatu, serta masyarakat miskin, program ini menegaskan bahwa negara hadir untuk semua, terutama yang paling membutuhkan.
Melalui program ini, kita diajak untuk meneladan semangat hijrah bukan sekadar mengenang, tetapi menggerakkan langkah konkret, saling berbagi, membangun solidaritas sosial, dan menjadikan keberkahan sebagai milik bersama.
Maka, marilah kita jadikan Tahun Baru Islam ini sebagai momentum untuk ikut ambil bagian: menjaga ukhuwah, memperkuat empati, dan mendukung program-program yang mendorong keadilan sosial dan kesejahteraan umat.
Evaluasi dan Muhasabah Diri
Tahun baru adalah waktu yang tepat untuk melakukan evaluasi dan muhasabah diri. Ini bukan sekadar pergantian angka dalam kalender, melainkan momen penting untuk merenung dan menilai kembali sejauh mana kualitas hidup kita dalam pandangan Allah.
Sudahkah shalat kita menjadi lebih khusyuk dan mendekatkan hati kepada-Nya? Sudahkah akhlak kita mencerminkan pribadi Muslim yang santun, jujur, dan pemaaf? Sudahkah hubungan kita dengan Allah semakin erat, dan hubungan kita dengan sesama manusia lebih harmonis dan penuh kasih sayang?
Muhasabah mengajak kita untuk jujur melihat kekurangan, mensyukuri kebaikan, dan merencanakan perbaikan. Dengan begitu, tahun baru bukan hanya perubahan waktu, tetapi juga awal dari perubahan diri menuju pribadi yang lebih bertakwa dan bermanfaat.
Dalam melakukan ibadah salat contohnya kita harus hijrah dari salat yang lalai menjadi shalat yang khusuk. Menurut Hasbi ash Shiddieqy “Shalat Tanpa Khusyu’ Itu Rusak” lebih jauh dia uraikan khusyuk bukan pelengkap akan tetapi menjadi rukun batin tanpa khusyuk shalat seperti jasad tanpa ruh dan kehilangan hakikat.
Dalam pendekatan targhib tarhib (dorongan dan peringatan) Hasbi menegaskan orang yang lali dalam shalat misalnya tidak berwudhu dengan sempurna, melalaikan waktu, meremehkan rukun dan syarat akan mendapatkan kerugian yang besar bahkan dapat hukuman karena shalat adalah pondasi amal.
Sebelum dan saat shalat hamba wajib menenangkan hati, menghilangkan gangguan pikiran, memahami bacaan, menghormati waktu dan gerakan shalat, ini semua bertujuan agar hati benar benar hadir (hudurul qalb) menjadikan gerakan tubuh dan raga selaras dengan kekhusyukan.
Hasbi mengajarkan bahwa hijrah ke arah khusyu’ bukan hanya soal memperbaiki gerakan, tetapi lebih penting lagi mengubah sikap hati dari lalai dan terburu-buru, menuju tenang, penuh penghayatan, dan sadar sepenuhnya akan keberadaan Allah dalam setiap rakaat
Waktu Terus Berlalu, Kematian Semakin Dekat
Tahun baru bukan hanya selebrasi, tapi pengingat bahwa usia kita sejatinya berkurang, bukan bertambah. Setiap detik yang berlalu adalah bagian dari hidup yang tak akan kembali.
Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menekankan bahwa waktu adalah “modal utama manusia” jika disia-siakan, maka kerugian yang ditanggung bukan sekadar dunia, tapi juga akhirat. Beliau bahkan menyebut bahwa kelalaian dalam menggunakan waktu adalah bentuk kebodohan spiritual.
Waktu harus dimanfaatkan untuk amal saleh dan introspeksi. Imam Al-Ghazali menyarankan agar seorang muslim membagi waktunya dengan disiplin: untuk ibadah, mencari ilmu, bekerja dengan niat yang benar, dan merenung. Dalam pandangannya, hidup tanpa manajemen waktu adalah hidup yang tertipu oleh dunia.
Maka, awal tahun baru Islam semestinya dijadikan momentum untuk merancang hidup yang lebih bermakna: menanam amal kebaikan, memperbaiki hubungan dengan Allah dan sesama, serta menjauhi kebiasaan yang merusak waktu.
Sebelum datang waktu yang tak bisa diulang yaitu kematian mari gunakan detik-detik ini untuk hijrah ke arah yang lebih baik. Imam Al-Ghazali mengingatkan bahwa “kematian adalah pintu kehidupan abadi,” dan bekalnya adalah amal saleh.
Maka, jangan tunggu tua untuk berubah, karena maut tidak menunggu kita siap. Tahun baru ini, mari tanam niat baru, niat yang dibuktikan dengan langkah nyata dalam ibadah, akhlak, dan kontribusi sosial.
Tahun Baru Islam 1 Muharram 1447 H bukan sekadar pergantian kalender hijriyah, tetapi adalah ajakan spiritual untuk melakukan transformasi diri dan sosial. Seperti kisah Pak Amir dan pemuda yang menolongnya, kita diingatkan bahwa kebaikan tidak pernah mati selama masih ada hati yang peduli.
Momentum hijrah bukan hanya seremonial, tetapi panggilan untuk bergerak dari pasif menjadi aktif, dari lalai menjadi sadar, dari egoisme menuju kepedulian. Inilah saat yang tepat untuk meneguhkan kembali niat, memperbaiki ibadah, meningkatkan amal, menuntut ilmu, dan menebarkan manfaat bagi lingkungan sekitar.
Mari kita jadikan tahun baru ini sebagai langkah awal hijrah batiniah, meninggalkan sikap lama yang merugikan menuju karakter baru yang lebih bertakwa dan peduli. Seperti yang ditekankan oleh para ulama seperti Imam Al-Ghazali dan Hasbi ash-Shiddieqy, perjalanan spiritual bukan dimulai dari luar, tetapi dari hati yang penuh kesadaran akan waktu, niat, dan tanggung jawab hidup.
Semoga kita termasuk orang-orang yang menggunakan setiap detik umur dengan sebaik-baiknya, hingga saat waktu kita habis kelak, kita kembali kepada Allah dalam keadaan husnul khatimah, membawa amal dan akhlak yang menjadi saksi kebaikan kita di dunia. Amin.
*) Dr. H.Muhammad Nur, MA merupakan Kepala Biro AUAPK IAIN Kerinci
**) Isi tulisan di atas menjadi tanggung jawab penulis
***) Karikatur by Rihad Humala/Ketik.co.id
****) Ketentuan pengiriman naskah opini:
- Naskah dikirim ke alamat email [email protected].
- Berikan keterangan OPINI di kolom subjek
- Panjang naskah maksimal 800 kata
- Sertakan identitas diri, foto, dan nomor HP
- Hak muat redaksi.(*)