Sidang Pemotongan Insentif BPPD Sidoarjo, Saksi Ahli: Ada Unsur Pemaksaan atau Tidak?

Editor: Fathur Roziq

27 Agustus 2024 08:19 27 Agt 2024 08:19

Thumbnail Sidang Pemotongan Insentif BPPD Sidoarjo, Saksi Ahli: Ada Unsur Pemaksaan atau Tidak? Watermark Ketik
Dr Bambang Suheriyadi SH MH setelah menjadi saksi ahli hukum pidana dalam perkara pemotongan insentif pegawai BPPD Sidoarjo di Pengadilan Tipikor Surabaya pada Senin (26/8/2024). (Foto: Fathur Roziq/Ketik.co.id)

KETIK, SIDOARJO – Persidangan perkara pemotongan insentif pegawai BPPD Sidoarjo berlanjut di Pengadilan Tipikor Surabaya. Pada Senin (26/8/2024), sidang menghadirkan saksi ahli pakar hukum pidana dari Unair, yaitu Dr Bambang Suheryadi SH MH. Unsur ada atau tidaknya paksaan dalam pemotongan dinyatakan sebagai faktor utama.

Sidang Pengadilan Tipikor dipimpin oleh Ketua Majelis hakim Ni Putu Sri Indayani SH MH dengan anggota Athoillah SH MH dan Ibnu Abas Ali SH MH. Agendanya adalah permintaan keterangan dari saksi ahli.

Bambang Suheryadi menjelaskan, unsur terpenting dalam perkara pemerasan adalah terjadinya unsur paksaan. Misalnya, apakah pelaku pemotongan melakukan pemaksaan dan yang diminta membayar merasa terpaksa atau takut.

’’Kata kuncinya adalah paksaan. Misalnya, terpaksa karena takut dimutasi atau tidak diikutkan diklat,’’ ungkapnya.

Bambang Suheryadi menjelaskan, untuk pemerasan yang diatur dalam pasal 12 huruf e dan huruf f UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, disebutkan adanya unsur objektif berupa sifat melawan hukum dan penyalahgunaan kekuasaan. Baik dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain.

Pelakunya disebutkan adalah pegawai negeri sipil atau penyelenggara negara. Perbuatan yang dilakukan adalah memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, menerima pembayaran dengan potongan, untuk sesuatu bagi dirinya sendiri.

Keterangan saksi ahli ini pun mendapatkan respons dari penasihat hukum terdakwa Ari Suryono, jaksa penuntut umum dari KPK, maupun majelis hakim.

Ridwan Rahmat, penasihat hukum Ari Suryono, menanyakan apakah maksud pemotongan terhadap insentif itu dilakukan sebelum atau setelah masuk ke rekening pegawai?

Bambang menjawab, kata kuncinya di sini adalah adanya unsur paksaan atau tidak. Misalnya, pegawai tergerak membayar karena takut dimutasi. Apakah betul-betul ada orang yang memerintahkan kalau insentif itu sudah masuk rekening pribadi.

Nabilla Amir, pengacara lain Ari Suryono, pun bertanya. Penyisihan atau shodaqoh itu itu meneruskan kebijakan pejabat-pejabat atau atasan-atasan sebelumnya. Nah, apakah meneruskan ini masuk kategori paksaan juga?

Dalam persidangan sebelumnya, saksi-saksi memberikan keterangan bahwa pemotongan insentif ini sudah berlangsung sejak 2014. Saat itu Badan Pelayanan Pajak Daerah atau (BPPD) Sidoarjo dikepalai oleh Joko Santosa. Praktik itu berlanjut sampai masa Ari Suryono menjabat Plt dan pada akhirnya menjadi kepala BPPD Sidoarjo.

Saksi ahli Bambang Suheryadi menjelaskan, jika hal seperti itu dilakukan secara berulang-ulang, harus pula dibuktikan, siapa yang melakukan pemaksaan itu.

Pemaksaan ini perlu dibuktikan dari apakah yang dipotong betul-betul takut akan dapat ’’sesuatu’’ dari atasan atau tidak. Misalnya, apakah yang bersangkutan takut dipindah kalau tidak membayar.

’’Harus dibuktikan memaksa itu bagaimana. Itu melawan hukumnya dengan cara memaksa. Dengan menyalahgunakan kekuasaan,’’ terang Bambang.

Bagaimana bila ada kesepakatan? Kalau ada kesepakatan, itu berarti tidak ada paksaan. Dalam keterangan sebelumnya, saksi-saksi pegawai Badan Pelayanan Pajak Daerah atau (BPPD) Sidoarjo mengaku mereka tidak keberatan insentif dipotong karena memang sudah menjadi kebiasaan.

Nabilla pun menegaskan lagi, ’’Apakah kebiasaan menyerahkan itu dikategorikan sebagai pemaksaan?’’

Bambang menyatakan bahwa harus dibuktikan betul apakah ada, misalnya, rapat untuk menentukan nilai yang harus dibayarkan. Dalam rapat disebutkan nilainya ditentukan. Sehingga, yang dipaksa tidak mampu berbuat lain.

’’Apakah ada rapat dan ditentukan segini ya segini ya,’’ ungkapnya.

Hakim Athoillah pun bertanya, ’’Jika tidak ada pemaksaan, tapi ditaruh kitir (kertas kecil berisi nilai potongan, red) di meja masing-masing dan tidak saling tahu. Apakah masuk kategori pemerasan?’’

Saksi ahli Bambang Suheriyadi mengatakan, apakah ketika ada pemotongan, kemudian ada pegawai yang dimutasi karena tidak membayar potongan atau tidak diikutkan diklat tertentu. Itu harus dibuktikan.

Jaksa KPK Rikhi Benindo Maghaz mempertanyakan adanya pemaksaan secara psikis terhadap pegawai. Apakah kekerasan psikis itu dapat diimplementasikan dalam bentuk patuh dan loyal kepada atasan.

Bambang menjelaskan, selama beberapa kali terjadi pergantian pimpinan, perlu dibuktikan dulu. Apakah pernah terjadi, pegawai yang tidak setor atau membayar akhirnya dipindah. Sehingga, yang dipotong tidak mungkin berani berkata tidak.

’’Dalam penerapan hukum pidana, tidak bisa berkata lain itu masuk unsur (pemaksaan),’’ tegasnya.

Pengacara Nabillah Amir pun bertanya lagi. Kali ini soal tanggung jawab atasan. Di manakah letak tanggung jawab jabatan itu jika uang sudah masuk ke rekening pribadi?

Diberitakan sebelumnya bahwa insentif pegawai BPPD Sidoarjo ditransfer ke rekening masing-masing pegawai. Baru kemudian ada setoran secara tunai. Mereka menyetor sesuai nilai yang tertera dalam kertas kecil berupa kitir.

Ditanya soal itu, Bambang sekali lagi menandaskan, yang harus dibuktikan dulu adalah pemaksaan itu terjadi atau tidak. Baru setelah itu dimintai pertanggungjawaban. Di situ dibuktikan juga apakah ada penyalahgunaan kekuasaan dan pemaksaan.

Makin Rahmat, tim penasihat hukum Ari Suryono, seusai sidang menjelaskan, selain pembuktian adanya unsur pemaksaan, mens rea (mengharuskan menghukum) atas perbuatannya, perlu pembuktian pula adanya penyalahgunaan kekuasaan.

Dalam persidangan, jelas dia, terbukti bahwa uang yang menjadi hak pegawai BPPD sudah diterima terlebih dahulu. Kemudian baru ada kesepakatan pemberian shodaqoh.

’’Faktanya, apakah ada pegawai yang tidak membayar atau protes lantas mendapatkan punishment (hukuman). Misalnya, dimutasi, dipersulit kenaikan jabatan, mengikuti seminar atau workshop. Di persidangan tidak ada. Semoga majelis dengan kearifan dan independen dapat memberikan telaah yang objektif,’’ kata Makin Rahmat. (*)

 

 

 

Tombol Google News

Tags:

BPPD Sidoarjo Pemotongan Insentif BPPD Sidoarjo Pengadilan Tipikor Surabaya Ari Suryono Komisi Pemberantasan Korupsi