KETIK, YOGYAKARTA – Ruwahan merupakan sebuah tradisi mengirim doa dan memohonkan keselamatan arwah-arwah leluhur yang sudah turun-temurun dilakukan oleh masyarakat. Tanpa terbatasi oleh perbedaan agama serta kepercayaan yang ada, tradisi ini menjelma menjadi sebuah budaya yang sudah melekat dalam kehidupan masyarakat Yogyakarta.
Termasuk di kampung Miliran, Kelurahan Muja-Muju, Kemantren Umbulharjo, Kota Yogyakarta yang dikenal menjunjung tinggi pluralisme dan berkeinginan untuk berperan serta dalam melestarikan tradisi yang sudah berkembang menjadi sebuah budaya. Tidak seluruh warga Miliran merupakan etnis Jawa dan tidak semua adalah muslim. Sehingga meski lekat dengan unsur Jawa dan Islam, tradisi Ruwahan dan Nyadran di Kampung Miliran dimaknai sebagai momentum kebersamaan seluruh warga.
Humas Kirab Apem Tradisi Ruwahan Kampung Miliran, Hartoyo, menyampaikan kebudayaan inilah yang akan mengingatkan dan menghadirkan pentingnya solidaritas dalam kehidupan bermasyarakat.
Selain itu adanya tradisi Ruwahan juga bertujuan untuk mempererat tali persaudaraan serta gotong royong umat bergama yang ada di kampung Miliran. Sekaligus juga sebagai sarana penghubung komunikasi yang baik antar warga.
Ia sebutkan tradisi Ruwahan ini melambangakan betapa beragamnya dan toleransinya warga kampung Miliran Yogyakarta, di tengah gempuran gerakan ekstrim yang kerap kali terjadi di Yogyakarta.
"Semoga saja tradisi ini bisa menjadi contoh bagi seluruh masyarakat Indonesia, khususnya Daerah Istimewa Yogyakarta bahwa keragaman dan toleransi sudah menjadi cikal bakal penduduk Indonesia. Begitu juga ke depannya tradisi ini menjadi tradisi rutin di kampung Miliran Yogyakarta," harap Hartoyo, Minggu (25/2/2024).
Diungkapkan oleh Hartoyo, jika menilisik perkataan mbah Warto, salah satu tokoh atau sesepuh di kampung Miliiran, tradisi ini sudah ada sejak lama sebagai satu kebiasaan. Tujuannya adalah untuk mempererat tali persaudaraan dan menjaga kesinambungan antar umat beragama yang ada di kampung Miliran Yogyakarta.
Para peserta Kirab tetap khidmat mengikuti jalannya acara meski dalam kondisi cuaca hujan. (Foto: Hartoyo for Ketik.co.id)
Untuk itulah warga dari 16 RT dari 4 RW yang ada di Miliran, selama sehari menggelar rangkain acara tradisi Ruwahan kampung Miliran.
Kegiatan tersebut seluruh warga RT 13 membuat apem bersama di pos ronda RT13, dari pukul 08.00 - 11.00 WIB.
Selanjutnya pada pukul 11.00 WIB membagikan apem ke warga. Kemudian pada pukul13.45 WIB, seluruh RT kampung Miliran (16 RT) mengumpulkan sebagian apem ke Balai Warga Miliran.
Serta puncak acara dilakukan Kirab Apem yang diikuti oleh seluruh warga kampung Miliran lengkap dengan Bregodo prajurit.
Menurut Hartoyo, menariknya mulai tahun 2023 lalu tradisi ini dilakukan secara besar- besaran dengan penggagas warga RT 13 Kampung Miliran. Pada tahun lalu, warga RT 13 menyelenggarakan tradisi ini menjelang bulan suci Ramadan. Sementara bentuk kegiatannya berupa perkumpulan warga. Serta membagi bagikan apem keseluruh warga setempat baik yang beragama Islam, Khatolik, Kristen, Hindu, Budha, dan Khonghucu. Kegiatan pembagian apem juga menyasar kepada para mahasiswa yang notabenya bukan warga kampung Miliran tetapi tinggal di kampung tersebut.
Pria yang juga ketua RT 13 Miliran ini juga menyampaikan, untuk tahun 2024 ini pegelaran tradisi Ruwahan di laksanakan oleh warga kampung Miliran dengan diikuti oleh 16 RT yang ada di kampung Miliran Yogyakarta. Serta mengangkat tema Tradisi Ruwahan “Ngapem Bareng Lintas Agama Kampung Miliran".
Acara Kirab Apem tersebut mengambil titik pemberangkatan di Balai Warga Miliran. Dengan rute Jalan Hibrida - jl Miliran - jl Kenari - jl Tanjung VI, Jokbur Kebarat- Jl Pusponyidro- jl Timoho II - jl Venus. Sementara finishnya di lahan Laudatosi RT. 01, RW 001, kampung Miliran.
Gunungan apem turut menyemarakan kegiatan Kirab di Kampung Miliran ini. (Foto: Hartoyo for Ketik.co.id)
Dalam pelaksanaannya, meski ditengah cuaca hujan. Namun para peserta Kirab tetap melaksanakan kegiatan tersebut dengan penuh semangat.
Adapun rangkaian acara tersebut, adalah: kirab Gunungan Apem bersama dengan Prajurit Bregada “Guyub Rukun Migunani” Kampung Miliran. Kemudian, Doa Lintas Agama Islam, Kristen, Katholik, Budha, Hindu, dan Khonghucu. Serta Dhahar Kembul atau makan bersama yang diikuti seluruh perwakilan elemen yang ada di Kampung Miliran.
Disebutkan pula oleh Hartoyo, seluruh warga menyadari bahwa mereka hidup dalam ruang bersama, yang di dalamnya kultur bersama juga diciptakan. Semangat kebersamaan dan prinsip kewargaan ini menjadi pesan yang akan terus digaungkan oleh komunitas Kampung Miliran.
Sementara sesepuh kampung, seperti mbah Warto menjadi sumber pengetahuan yang dihargai dan akan dilestarikan pemaknaannya oleh generasi muda kampung Miliran kota di Yogyakarta ini.
Sedangkan hikmah yang bisa dipetik dari tradisi ini salah satunya adalah keikhasan untuk saling memaafkan, sebagai persiapan mental sebelum melaksanakan ibadah puasa di bulan Ramadan.
Tradisi Ruwahan, yang biasanya juga diikuti dengan tradisi “Nyadran” di makam kampung atau keluarga, mengajak kita untuk terus ingat pada kematian. (*)