Aku ingat suatu kejadian saat meliput pembagian bendera Merah Putih gratis yang digerakkan oleh Pemerintah Kota Palembang. Kegiatan itu berlangsung pada tanggal 15 Agustus 2024, dua hari sebelum Indonesia bertambah dewasa.
Waktu itu, pembagian bendera di Simpang 5 DPRD Provinsi Sumatera Selatan itu berlangsung seperti biasa. Orang-orang dari pemerintah memberikan bendera, warga di jalan menerimanya.
Aku, tegak di sebelah tiang lampu lalu lintas, menyaksikan orang-orang itu. Agenda itu berlangsung cukup lama, dari pagi sampai menjelang siang.
Kebanyakan warga langsung menyimpan bendera yang mereka peroleh dan tancap gas, melanjutkan perjalanannya. Namun, ada seorang laki-laki yang berperilaku lain daripada yang lain. Orang itu sudah paruh baya. Dia menerima bendera dan, dengan bangga, mengibarkannya di muka.
Selama aku di lokasi, pria itulah orang satu-satunya yang melakukan itu. Apa alasannya? Batinku. Berhubung waktu itu sedang lampu merah, jadi aku bisa menyapanya dan memperkenalkan diriku.
"Aku Deri," sambutnya. Pak Deri, aku memanggilnya. Dia menerimaku dengan senyuman ramah. Tak perlu basa-basi, aku langsung menyampaikan isi hatiku di atas.
Rupanya, Pak Deri cinta Indonesia. Dia sangat mencintai tanah kelahirannya, tanah di mana dia dibesarkan, dan tanah di mana anak-anaknya tumbuh berkembang. Rasa cinta itulah yang membuatnya berbeda.
Walau cintanya besar, Pak Deri tetap gedek dengan orang-orang yang membuat Indonesia bersedih. Dia benci mereka-mereka yang mengatur Indonesia seenak jidat, apalagi sampai membuat sanak saudaranya sengsara.
Meski begitu, Pak Deri masih berpikir cerah. Waktu itu, usai merayakan kemenangan Pemilu dan menyambut gelaran Pilkada, Pak Deri mengungkapkan cita-citanya.
Dia ingin Indonesia menjadi negara maju. Dia juga berkehendak, warga Indonesia menjadi rakyat yang berdaulat dan makmur.
"Saya harap Indonesia lebih maju, rakyat-rakyatnya juga jadi lebih makmur," kata-kata terakhirnya saat lampu merah beralih menjadi hijau.
Dia memasukkan gigi motornya dan melaju tanpa perpisahan. Pak Deri pun hanyut dalam arus kendaraan dan tak pernah ku jumpai lagi.
Pak, aku sangat berharap obrolan singkat kita waktu itu benar-benar terwujud. Setelah Bapak tancap gas, aku langsung terbayang negeri yang sejahtera, makmur, dan hijau: negeri di mana warganya bangga mengibarkan panji-panji merah putih yang perkasa.
Belum ada setahun percakapan kita waktu itu, Pak. Rupanya, harapanmu jauh dikata. Kalimat terakhir yang engkau ucapkan segera dipupuskan oleh pemerintah yang mengatasnamakan merah putih.
Kemarin, Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi, Satryo Soemantri Brodjonegoro, menyampaikan kabar yang membuatku terkejut. Anggaran Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN) dicukur sampai 50 persen, dari Rp6,018 triliun menjadi Rp3 triliun. Kebijakan ini berpeluang menyebabkan kenaikan biaya uang kuliah.
Kedengarannya sudah parah, bukan? Tunggu sampai kita menyadari kalau anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) tahun 2025 turut dipotong. Tak tanggung-tanggung, efisiensi APBN tahun ini menyentuh angka yang begitu drastis, yakni mencapai Rp306 triliun–sesuai Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025.
Sejumlah pendapat di media sosial memprediksi adanya gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang terjadi di mana-mana. Gelombang PHK itu sudah dimulai dari dua lembaga penyiaran milik pemerintah, yaitu TVRI dan RRI, sudah melakukan "efisiensi" karyawan.
Melihat kejadian itu, maka bukan tidak mungkin arus PHK akan muncul berkelanjutan–di tengah huru-hara itu, pemerintah melantik staf khusus bidang keamanan, duh!
Efek domino selanjutnya dari kebijakan pemangkasan anggaran tersebut adalah pengurangan target sasaran peserta Pendidikan Profesi Guru (PPG) dari yang semula ditargetkan 806 ribu guru menjadi hanya 400 ribu saja.
Padahal, PPG sangat dibutuhkan siswa-siswi se-Indonesia supaya gurunya bisa mengajari mereka dengan baik.
Kenapa anggaran sana-sini dipotong? Salah satunya, untuk menyukseskan program "oke gas"-nya Prabowo. Ya, program makan siang gratis yang sekarang disebut sebagai Makan Bergizi Gratis (MBG).
Urusan lain nomor ke sekian. Yang penting, urusan perut nomor satu. Supaya program itu lancar, semuanya dipangkas. Demi efisiensi anggaran, katanya. Dari efisiensi karyawan pemerintah, efisiensi anggaran, sampai efisiensi pendidikan pun dilakukan demi melewati makan siang.
Ada legenda populer yang menceritakan bahwa setelah Jepang hancur lebur dan kalah pada Perang Dunia Kedua, Kaisar Hirohito bertanya, "Berapa jumlah guru yang masih kita miliki?"
Walaupun kisah ini tidak memiliki bukti sejarah, namun hal ini menjadi simbol kuat bagaimana Negeri Matahari Terbit menyoroti pendidikan sebagai kunci kebangkitan bangsa.
Lantas, apa kabar masa depan Indonesia kalau pemerintah lebih peduli urusan perut ketimbang otak? Jangan-jangan, kita memang dipelihara agar tidak menjadi warga cerdas yang berani memprotes sejumlah kebijakan yang mementingkan kelompok tertentu? Bukan? Kuharap ini cuma pikiran jahatku saja.
Pak Deri, aku juga sama seperti Bapak. Aku masih cinta Indonesia. Aku juga masih menyukai tanah kelahiranku. Sayang seribu sayang, negeri ini diurusi oleh orang-orang yang ora urus, gak peduli, tidak memikirkan rakyatnya–walaupun katanya pro rakyat.
Dewasa ini, apa-apa serba susah, Pak. Orang tua kita banting tulang ke sana-sini demi mengantre gas melon. Mungkin Bapak juga merasakannya, ya? Aku harap Bapak tetap teguh menjalani kehidupan yang jauh dari kata merdeka.
Semoga tulisan kecilku ini bisa menjadi renungan bersama. Meski aku yakin tidak semua orang mengeluhkan sakit yang sama, tetapi setidaknya kita bisa berbarengan, termasuk pemerintah, untuk memikirkan nasib kita sekalian.
Pak Presiden, kami bangga mengibarkan sang saka merah putih. Kami pun bangga mengenakan atribut serupa, walau Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Maukah Bapak membaca tulisan ini, sekadar untuk bertukar pikiran semata?
Ngomong-ngomong, nama belakangku Prabowo. Orang tuaku memakai nama itu karena mereka sangat menggandrungimu jauh sebelum aku dilahirkan. Jangan kecewakan orang tuaku ya, Pak, termasuk orang Indonesia lainnya!
*) Wisnu Akbar Prabowo merupakan jurnalis Ketik.co.id Biro Palembang
**) Isi tulisan di atas menjadi tanggung jawab penulis
***) Karikatur by Rihad Humala/Ketik.co.id
****) Ketentuan pengiriman naskah opini:
- Naskah dikirim ke alamat email [email protected].
- Berikan keterangan OPINI di kolom subjek
- Panjang naskah maksimal 800 kata
- Sertakan identitas diri, foto, dan nomor HP
- Hak muat redaksi.(*)