KETIK, MALANG – Pemerintahan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka menginjak usia ke-100 hari kerja pada Selasa 28 Januari 2025 esok.
Dalam perjalanan awal ini, sudah terdapat beberapa polemik maupun kegaduhan yang disebabkan beberapa menteri Kabinet Merah Putih tersebut.
Baru-baru ini Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendikti Saintek) ambil bagian dalam menghantui catatan sejarah pemerintahan Prabowo-Gibran.
Kegaduhan pertama datang dari Menteri Hak Asasi Manusia (HAM) Natalius Pigai. Dia mengatakan bahwa kementeriannya tidak memiliki program 100 hari kerja namun meminta tambahan anggaran Rp20 triliun. Baru-baru ini, Natalius juga kembali jadi sorotan publik sebab mengatakan memiliki tiga orang pacar.
Pada 21 Oktober 2025, Yusril Ihza Mahendra, Menteri Koordinator Bidang Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menko Kumham) menyusul kehebohan dengan mengatakan bahwa tragedi 1998 bukanlah pelanggaran HAM berat.
Tak lama setelah itu, muncul undangan haul ibu dari Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT) Yandri Susanto dengan kop surat dan stemple resmi Kementerian Desa PDT yang ditandatangani sebagai Menteri.
Tak berselang lama, Menteri Dikti Saintek, Satryo Soemantri Brodjonegoro ambil giliran. Muncul sebuah rekaman yang diduga perlakuan semena-mena Satryo terhadap staf kementerian. Dalam drama ini, masyarakat disuguhkan dengan alur baru terkait demo yang diisi oleh para ASN.
Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Brawijaya (UB), Anang Sujoko memberikan komentar tentang polemik Sang Menteri Satryo. Menurutnya seorang pemimpin baru harus paham budaya organisasi.
"Sebaik apapun value yang dimiliki pemimpin tapi ketika gak paham budaya organisasi yang eksisting akan jadi problem. Artinya pemimpin harus paham dulu yang di bawah (staf dan budaya organisasi) seperti apa," ujarnya, Sabtu 25 Januari 2025.
Menurutnya aksi demo yang dilakukan oleh ASN kementerian merupakan bom waktu yang disebabkan oleh pembiaran konflik internal.
Lemah atau bahkan ketiadaan mediasi antara pegawai dan pimpinan di kementerian akhirnya menimbulkan kegaduhan yang dapat berdampak pada kepercayaan publik.
"Masalah internal ada pembiaran sekian lama hingga memuncak. Menurut saya ketika sudah demo suatu lembaga, itu karena saking luar biasanya konflik dibiarkan. Jika masuk ke ruang publik pasti berdampak ke kepercayaan publik terhadap kementerian," imbuhnya.
Anang menjelaskan terdapat beberapa persoalan yang bisa jadi memicu kemarahan para ASN di Kemendikti Saintek. Salah satunya masalah psikologis yang berkaitan dengan jabatan dan masalah ekonomi.
Terlebih Kemendikti Saintek merupakan salah satu bagian pecahan dari Kemendikbutristekdikti di era kepemimpinan Joko Widodo.
"Dalam psikologi organisasi, gerakan yang cenderung vulgar itu karena ada ancaman secara psikologis. Bisa jadi ada pergeseran posisi ke kementerian baru, ada kemungkinan mengancam karir. Ancaman secara ekonomi membuat seseorang memunculkan kepanikan dan ketidaknyamanan yang luar biasa sehingga hal kecil jadi besar," terangnya. (*)