KETIK, SURABAYA – Hari ini, 9 Februari 2025, bertepatan dengan peringatan Hari Pers Nasional. Kini masa kejayaan koran runtuh, seiring tumbuhnya media online bak jamur di musim hujan.
Sejak itu, rasa bangga menulis artikel di media massa pun hilang. Itulah yang dirasakan Direktur Eksekutif Center for Energy Security Studies(CESS). Dr. Ir. Ali Ahmudi Achyak S.Si, MT, M.Si (Han).
Dulu, Dosen Fakultas Teknik Universitas Indonesia (UI) ini mengaku bangga bila karya opininya dimuat di koran mainstream. "Bisa dimuat di koran, sudah hebat. Standar media offline lebih tinggi dibanding online," ujar Ali saat berbincangan dengan Ketik.co.id.
Kehadiran Ali di Hotel Whiz Luxe Surabaya, 4 Februari 2025 sebagai narasumber dalam Local Media Comunity 2025. Ali membahas soal Transisi Energi Berkeadilan dan Berkelanjutan di Indonesia. Acara tersebut digagas suara.com dan disupport beritajatim.com.
Media Koran Mainstream
Memang menulis artikel untuk menembus media koran mainstream, tak mudah. Karena itu, Ali sewaktu mahasiswa mengawali menulis di 'media kecil.' Hingga akhirnya karya opininya menghiasi berbagai media koran ternama.
"Honornya tak seberapa, yang membanggakan bila artikel saya dimuat di koran, saya gunting dan saya tunjuk-tunjukin," ujar Peneliti Senior Lentera Institut Tehnologi PLN itu.
Sebaliknya, Ali saat menulis artikel di media online, tak ada rasa bangga. Alasannya, bila artikel tak dimuat di satu media online, dengan mudah bisa dikirim ke media online lainnya. "Tak diterima di sini bisa ke sono," ujarnya.
Ali menceritakan saat menerima 'pesanan' artikel dari media online yang dideadline pukul 23.00 WIB. Meski sedang di perjalanan, Ali bisa memenuhi membuat artikel itu pada sore hari. "Kadang saya mengetik lewat WA," ujarnya.
Bahkan Ali mengibaratkan menulis artikel di media online itu seperti orang makan. Tak ada yang istimewa. Masalahnya pemuatan artikel di media online mudah dan seleksinya tak seketat di media koran mainstream.
"Seperti orang makan. Orang makan kan tak ada yang dibilang hebat. Ya biasa saja," kata alumnus Pertahan Energi, Universitas Pertahanan.
Keunggulan Media Online
Namun Ali tak menafikan sisi positif keberadaan media online. Selain kecepatan dalam memposting dan menyebarkan dalam jangkauan yang lebih luas.
"Hasil pemikiran kita lebih cepat tersampaikan dan dampak juga lebih cepat. Biasanya saya menulis di satu media online, langsung tersebar ke media lain dalam satu grup. Ada juga yang tersebar lewat WA," ujar pria kelahiran Kendal, Jawa Tengah itu.
Bila di media koran, lanjut Ali, untuk menerbitkan artikel menunggu waktu 2-3 hari. Misalkan menulis kelangkaan LPG 3 Kg, bila diterbitkan 2-3 hari kemudian, tidak relevan. "Sudah ada solusi kebijakan yang diambil (pemerintah)," jelas Doktor Elektro UI dengan peminatan Energi Terbarukan itu.
Pria yang menyandang gelar double mulai S1, S2 hingga S3 itu mengaku sekarang tak bersemangat menulis artikel di media koran, kecuali diminta dari medianya. Alasannya, pembaca koran sedikit. Dia menilai koran tetap terbit sekedar untuk mempertahan nama besar media tersebut. Karena dari sisi bisnis pun tak menjanjikan.
Kini Ali merasa bangga bila menulis artikel dimuat di media berbahasa Inggris yang terbit di Jakarta. "Istimewa bila artikel masuk di Jakarta Post," ujarnya dengan mimik serius.
Pentingnya Jurnalistik
Ali menyadari pentingnya mempelajari ilmu jurnalistik untuk keseimbangan hidup. Lantaran selama di kampus UI, ia fokus mempelajari science and technology yang berkutat dengan rumus, dan alat.
"Untuk menyeimbangkan otak kiri dan kanan, salah satunya saya belajar ilmu jurnalistik baik di lingkungan kampus maupun kursus di luar kampus. Bahkan saya sekolah filsafat dan ikut kajian filsafat di UI," jelas alumnus S2 Elektro UI dan Pertahanan Energi, Unìversitas Pertahanan itu.
Ali mempraktikkan ilmu jurnalistik yang dipelajarinya sejak mahasiswa hingga menjadi dosen dengan menulis artikel di media koran.
"Topiknya kalau bersinggungan dengan politik ke arah pengembangan teknologi. Jadi bukan politik doang," kata pria yang menimba ilmu di UI sejak 1992 itu.
Keuntungan lainnya, setelah mempelajari Ilmu Jurnalistik, Ali bisa mempresentasikan ilmu eksak dengan bahasa ilmu sosial, sehingga mudah dimengerti. "Di kalangan teman-teman, saya dibilang orang teknik kayak orang sejarah," imbuhnya sambil tersenyum.
Sebaliknya, kata Ali, para dosen di almamaternya yang tak menguasai ilmu jurnalistik maka akan mempresentasikan materi eksak dengan kaku, dalam bentuk jurnal. "Tentu yang membaca lebih sedikit, beda bila dibahasakan dengan ilmu sosial," katanya.
Mengingat kejayaan era koran, Ali bercerita flashback saat dirinya harus membeli koran untuk melihat hasil pengumuman Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN) tahun 1992 di kampung halamannya Kendal.
"Saya harus ke sana ke mari mencari koran. Saya diterima di UI, korannya saya bawa lari ditunjukkin ke orangtua. Sedangkan sekarang tinggal buka link, oh sudah diterima," kenang alumnus S1 Fakultas Teknik Elektro UI dan Fisika di Universitas Negeri Jakarta (UNJ) itu.