Hari Kartini dan Ironi Perempuan Pekerja Masa Kini

Editor: Mustopa

22 April 2024 03:31 22 Apr 2024 03:31

Thumbnail Hari Kartini dan Ironi Perempuan Pekerja Masa Kini Watermark Ketik
Oleh: Siti Fatimah*

Ada sesuatu yang mengganjal dalam benak saya ketika mendengar emansipasi wanita setiap kali datang perayaan Hari Kartini. Di berbagai momen, saya mendapati beberapa orang mengatakan zaman sekarang tidak ada lagi kesenjangan antara perempuan dan laki-laki.

Berbeda dengan zaman dulu, kata mereka perempuan sekarang sudah mendapat kesempatan sama untuk bekerja dan berkontribusi di berbagai bidang, sudah banyak yang sekolah sampai pendidikan tinggi, dan bisa maju tanpa ada penghalang apapun yang menghantuinya.

Saya ingat sekali sekitar dua tahun lalu ada salah satu teman pernah mengatakan, “Perempuan sekarang sudah banyak yang bekerja, apalagi masalahnya?”

Memang benar, perempuan sekarang sudah banyak yang bekerja. Jika melihat data Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) dari Badan Pusat Statistik (BPS), kelompok angkatan kerja perempuan pada Agustus 2023 mencapai 54,52 juta orang.

Angka ini meningkat dibanding dua tahun sebelumnya, yakni 53,41 juta orang di tahun 2022 dan 53,34 juta orang tahun 2021. Lalu apa masalahnya? Apa benar perempuan sudah bisa berkontribusi dengan aman tanpa hambatan?

Rentan Mengalami Kekerasan dan Pelecehan Seksual

Emansipasi wanita yang digagas RA Kartini menjadi gebrakan luar biasa pada waktu itu yang dampaknya bisa dirasakan hingga sekarang. Perempuan yang dulunya hanya berkutat pada urusan domestik (macak, manak, masak) kini sudah bisa berkontribusi di berbagai bidang.

Namun, bukan berarti lepas begitu saja dari masalah. Nyatanya sekarang masih banyak perempuan mengalami kekerasan dan pelecehan seksual saat bekerja. 

Seperti yang dialami –sebut saja Putri (23). Sebagai driver ojek online ia sering merasa was-was dan takut ketika mendapat penumpang laki-laki terlebih pada malam hari. 

Ia sempat bercerita ketakutan itu tak lepas dari pengalamannya yang beberapa kali mendapat perlakuan tidak enak dari customer laki-laki. Contohnya posisi duduk penumpang laki-laki yang seringkali tidak etis dan membuatnya terganggu. 

“Pernah ada penumpang yang duduknya terus-terusan merosot mendekat ke aku. Alih-alih dibenerin malah diam saja. Pas sampai tujuan, aku tegur malah dia beralasan jok motorku licin. Kalau jok motor beneran licin, kalau dia punya otak harusnya langsung membenarkan posisi duduknya. Jaga jarak sama driver perempuan,” tegas Putri, Sabtu sore (20/4/2024).

Tidak hanya Putri, seorang perempuan yang saya kenal pernah bercerita hal serupa. Saat menjalankan tugasnya sebagai seorang jurnalis, ia pernah mendapat perlakuan tidak enak dari narasumber.

“Kejadiannya tahun 2022 waktu itu lagi ngeliput event pameran lukisan ketemu seniman sudah tua tapi otaknya mesum,” ucap perempuan itu, Sabtu (20/4/2024).

Saat berada di pameran tersebut, ia bercerita seniman itu selalu mengikutinya di manapun dia berada. Karena merasa risih, ia memutuskan kabur ke musala tapi seniman tersebut malah mengatakan, “Mau diantar?” sambil memegang tangan teman saya. 

“Dia pegang tanganku tapi langsung aku lepas. Pas balik ternyata orangnya masih ada karena acaranya belum selesai, dan di luar dia malah bilang begini ‘main ke rumah yuk,nanti tak lukis berdua saja di ruangan,” sambungnya.

Kejadian tidak mengenakkan seperti itu tidak hanya ia dapatkan dari narasumber. Mirisnya, ia juga pernah mendapatkan perlakuan serupa dari sesama rekan jurnalis.

“Pernah sama rekan jurnalis. Dia gangguin lewat chat manggil sayang-sayang, sama narasumber pernah juga ngechat manggil sayang. Langsung aku blok nomornya,” ujar jurnalis 24 tahun itu.

Sebagai jurnalis, ia terkadang merasa dilema ketika harus menyimpan nomor banyak orang. Sebab potensi mendapatkan pesan tidak etis bisa saja terjadi.

“Dilemanya itu, kita kan sebagai jurnalis tentu butuh banyak nomor narasumber, siapapun. Tapi risikonya bisa aja dichat tidak jelas seperti itu,” katanya.

Fenomena Gunung Es

Kekerasan dan pelecehan seksual itu serupa gunung es. Dilihat dari puncak memang seperti sedikit kasus, tapi di dalam bisa saja tak terhitung jumlahnya. 

Dengan kata lain, masih banyak kasus kekerasan dan pelecehan seksual terhadap perempuan tidak muncul dipermukaan. Penyebabnya macam-macam, mulai dari korban yang takut melapor, kasus ditutupi, sampai hukum yang tak berpihak pada korban. 

Sedikit mengutip Catatan Tahunan Komnas Perempuan, setidaknya ada 289.111 kasus kekerasan pada perempuan di tahun 2023. Angka ini mengalami penurunan 12% atau sekitar 55.920 kasus dibanding tahun 2022 yaitu menjadi 401.975 dari 457.895 kasus. 

Sementara itu, jika dilihat jenis kekerasannya di ranah publik, Komnas Perempuan dan Lembaga Layanan mengungkap kekerasan seksual merupakan bentuk kekerasan paling banyak diadukan korban, baik ke Lembaga Layanan mencapai 50% maupun Komnas Perempuan 68%. 

Belum lagi data kekerasan seksual berbasis elektronik juga dilaporkan mencapai puncak tertinggi sebesar 991 kasus. Pelecehan seksual di urutan kedua dengan total 711 kasus, pencabulan 180 kasus, pemerkosaan 72 kasus, dan 575 kasus lain yang melibatkan kekerasan seksual. 

Melihat data tersebut, meskipun secara garis besar kekerasan dan pelecehan terhadap perempuan tahun 2023 mengalami penurunan tapi tetap saja data itu diambil kasus-kasus yang berhasil ketahuan. Yang tidak ketahuan? Bisa saja lebih banyak dari itu.

Perempuan Bekerja dan Masalah Lainnya

Belum selesai di situ, perempuan bekerja nyatanya masih menghadapi banyak persoalan lainnya. 

Beban ganda misalnya. Saya beberapa kali mendengar dan membaca keluhan teman-teman perempuan yang mengalami beban ganda. Beban ganda disini maksudnya perempuan mengambil peran lebih banyak untuk mengurusi urusan domestik sekaligus publik (bekerja) dibanding laki-laki. 

Dalam rumah tangga, tentu saja ini ketimpangan yang merugikan salah satu pihak, Sebab semua pekerjaan seakan hanya dilimpahkan pada perempuan, tidak ada kerjasama yang bersifat kesalingan. Ini tentu saja akan berdampak pada produktivitas perempuan, mereka kepayahan, kelelahan, dan rentan mengalami stres.

Selain beban ganda, perempuan yang berstatus sebagai ibu nyatanya susah mendapat pekerjaan. Mereka seringkali mendapat penolakan hanya karena sudah memiliki anak, berbeda halnya dengan laki-laki yang berstatus sama.

Saya yakin laki-laki tidak akan ditanya sama HRD, “Kamu ini kan sudah punya anak, bagaimana caramu mengatur waktu untuk bisa menyeimbangkan itu?”. Mirisnya, itu hanya dialami perempuan. Bayangkan saja kalau itu dialami ibu tunggal yang berjuang cari nafkah untuk anaknya?

Begitupun persoalan peluang karir, kegalauan ibu pekerja yang meninggalkan anaknya saat bekerja hingga masalah gaji perempuan yang lebih rendah dari laki-laki. Bagi saya, semua persoalan di atas menjadi masalah serius dan perlu mendapatkan perhatian dari berbagai pihak. 

Sebab partisipasi perempuan terutama di ruang publik mengambil peran penting bagi kemajuan sebuah negara apabila kesempatan, kesejahteraan, dan keamanannya benar-benar diberikan. 

*) Siti Fatimah Jurnalis Ketik.co.id di Surabaya

**) Isi tulisan di atas menjadi tanggung jawab penulis

***) Karikatur by Rihad Humala/Ketik.co.id

****) Ketentuan pengiriman naskah opini:

  • Naskah dikirim ke alamat email redaksi@ketik.co.id.
  • Berikan keterangan OPINI di kolom subjek
  • Panjang naskah maksimal 800 kata
  • Sertakan identitas diri, foto, dan nomor HP
  • Hak muat redaksi.(*)

Tombol Google News

Tags:

opini Siti Fatimah Hari Kartini dan Ironi Perempuan Pekerja Masa Kini