KETIK, SURABAYA – Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi membeberkan bahwa 50 calon kepala dinas mundur saat prosesi lelang jabatan.
Banyaknya calon Kepala Organisasi Perangkat Daerah (OPD) memilih mundur setelah melihat langsung uji kompetensi yang ditayangkan langsung melalui live streaming.
Mengenai hal ini, Anggota Komisi A DPRD Surabaya Azhar Kahfi menyebut ada dua faktor utama Kepala OPD mundur dari jabatannya.
Kahfi menyebut mundurnya para peserta karena standar seleksi yang ketat dan kurangnya kepercayaan diri di kalangan ASN.
Politisi Gerindra ini menilai bahwa ajang seleksi ini pada dasarnya merupakan ruang bagi para pejabat untuk memaparkan inovasi dan gagasan demi kemajuan organisasi perangkat daerah (OPD).
Namun, menurutnya, banyak peserta yang ragu melanjutkan proses seleksi karena berbagai alasan, termasuk adanya standar pengalaman yang tinggi.
“Menurut saya, mereka yang sudah memberikan inovasinya patut diapresiasi. Namun, ada persoalan di sini, yaitu banyak ASN yang merasa kurang percaya diri untuk bersaing atau merasa terbebani dengan standar pengalaman yang ditetapkan,” ujar Azhar pada Jumat 21 Maret 2025.
Kahfi menambahkan, ASN yang telah berkontribusi dalam seleksi ini seharusnya tetap bisa terlibat dalam proses pembangunan, meskipun mereka tidak lolos sebagai kepala dinas.
“Para peserta yang mundur itu telah menyumbangkan gagasan dan inovasi. Kepala dinas yang terpilih nantinya harus tetap merangkul mereka dalam timnya agar ide-ide yang telah disampaikan bisa tetap bermanfaat untuk Surabaya,” terangnya.
Selain itu, Kahfi juga mengkritisi pernyataan Wali Kota Surabaya, Eri Cahyadi, yang menegaskan bahwa seorang kepala dinas harus memiliki pengalaman di bidang yang sama.
Menurutnya, pengalaman memang penting, tetapi harus diimbangi dengan ukuran keberhasilan yang jelas.
“Kalau memang pengalaman menjadi syarat utama, maka harus ada indikator keberhasilan yang jelas. Misalnya, dalam 100 hari kerja, apa target yang harus dicapai? Jika tidak mampu, apa konsekuensinya? Jangan sampai standar pengalaman ini justru menghambat munculnya pemimpin-pemimpin baru yang inovatif,” tegasnya.
Di sisi lain, mundurnya para peserta juga dikaitkan dengan budaya birokrasi di lingkungan ASN, di mana senioritas dan etika kerja masih menjadi pertimbangan besar.
“Mungkin ada yang mundur karena menghormati seniornya atau tidak ingin mengganggu ekosistem kerja yang sudah ada. Ini realitas di dunia PNS kita hari ini. Namun, ke depan, kompetisi seperti ini harus lebih sehat, di mana junior yang punya inovasi tetap diberi ruang dan tidak dianggap sebagai ancaman bagi seniornya,” pungkas Kahfi. (*)