KETIK, MALANG – Di media sosial maupun portal berita online, selalu digaungkan perihal karakter Gen Z yang tidak disukai oleh atasan.
Gen Z selalu menjadi pihak yang mengalami over stigma atau stigmatisasi berlebihan. Mulai dari keras kepala, tidak loyal, suka mengeluh, bahkan tidak bisa bekerja.
Padahal, kondisi maupun perilaku yang dialami Gen Z juga mendapat pengaruh dari sistem yang telah terjadi selama ini. Salah satunya era pandemi Covid-19 yang membuat semakin minim pengalaman bekerja yang bisa diakses.
Minimnya pengalaman membuat Gen Z harus bersaing dengan senior yang telah berpengalaman namun bersedia dibayar dengan upah rendah.
Ketika terjun di dunia kerja, ketika harus menghadapi senior dengan pikiran tertutup, Gen Z harus menghadapi beberapa tekanan seperti diremehkan karena usia dan generasinya.
Ternyata, ada sikap ataupun gaya kepemimpinan yang tidak disukai oleh Gen Z yakni micromanagement. Gaya kepemimpinan ini cenderung membuat atasan meletakkan kontrol berlebihan terhadap bawahannya.
Micromanaging akan memberikan dampak negatif dan sudah dianggap tidak relevan bagi perkembangan zaman. Adapun dampak yang diberikan berupa terganggunya psikologis karyawan, membuat karyawan kurang nyaman, hingga menghambat kualitas kinerja.
Bagi Gen Z yang cenderung senang dengan sifat-sifat humanis, micromanaging memberikan kesan ketidakpercayaan atasan terhadap kinerja karyawan, kaku, tidak fleksibel, hingga membuat sesak.
Melansir publikasi yang dikeluarkan oleh Regent University berjudul Millennial and Generation Z’s Perspectives on Leadership Effectiveness, kepemimpinan yang efektif bagi Gen Z ialah yang menekankan pada otentisitas, kemampuan beradaptasi, fleksibilitas, dan work life balance.
Penerapan gaya kepemimpinan micromanagement dapat menimbulkan tekanan mental akibat pengawasan yang ketat. Untuk itu pemimpin yang menghargai keberagaman, kesetaraan, dan kesehatan mental pegawai akan mendapatkan nilai plus. (*)